selasa,20 september,http://misteridibalikbonekasusan.blogspot.co.id/2016
Misteri di Balik Boneka
Boneka Kecil Bernyanyi tentang Cita-Cita
Boneka gadis kecil itu bisa bernyanyi. Namanya Suzan. Suaranya berasal
dari Ria Enes, wanita yang juga menggerakkan tubuhnya. Dua dekade lalu
anak-anak menikmati kelucuannya. Tetapi pesan di balik lagunya mungkin
tak selugu yang dibayangkan banyak orang.
Suzan Punya Cita-Cita, salah satu lagu Suzan-Ria yang bergaya tanya-jawab, memuat potongan lirik ini: Suzan
Suzan Suzan/Besok gede mau jadi apa?/Aku kepingin pinter/Biar jadi
dokter//Kalau kalau benar/Jadi dokter kamu mau apa?/Mau suntik orang
lewat/jus jus njuus.
Jawaban pertama Susan adalah klise tentang cita-cita model Orde Baru,
menjadi pekerja kerah putih: dokter, insinyur, presiden. Tetapi yang
beda dari lagu ini, Ria bertanya lagi mengapa Susan memilih cita-cita
itu. Jawaban Suzan jenaka, lugu, namun mengejutkan. Ia bukan sedang
membujuk khalayak agar percaya bahwa seluruh dokter hanya punya satu tujuan: menyembuhkan penyakit.
***
Dokter sejatinya pekerjaan mulia, sebagaimana profesi lain, bila
dijalankan penuh dedikasi untuk kepentingan orang banyak. Apalagi,
hingga beberapa tahun lalu, perbandingan jumlah dokter dan penduduk di
Indonesia masih jomplang, 13 dokter untuk 100.000 penduduk. Jauh di
bawah negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, apalagi Singapura.
Demikian menurut naskah Strategi Nasional Departemen Kesehatan
2005-2009.
Namun, menurut beberapa analis, masalah segera tampak bila kita melongok
penerapan kebijakan kesehatan nasional, yang lebih mengutamakan upaya
pengobatan ketimbang kerja promosi dan pencegahan—biarkan orang menjadi
sakit dulu lalu diobati. Ini meletakkan profesi dokter di pucuk
penyelenggaraan kesehatan publik.
Masalah pun kian runyam ketika lembaga-lembaga negara berlaku seperti
pasar, di mana posisi ‘basah’ diperoleh lebih banyak lewat jual
beli—mengutip penelitian Howard Dick dan Jeremy Mulholland yang
terangkum dalam buku The State and Illegality in Indonesia.
Di belakangnya, ada anggaran kesehatan yang rendah. APBN 2008, hanya
mengalokasikan 1,09% dari GDP untuk anggaran kesehatan, di bawah standar
5% dari GDP yang ditetapkan WHO.
Hasilnya: bersama naiknya posisi penting dokter, upah mereka kian
menggiurkan—meski tak banyak berasal dari kas negara. Untuk menyetarakan
gengsi dan gaji, para dokter mesti memakai kuasanya untuk mencari dari
sumber pendapatan lain.
Wajar bila profesi ini pelan-pelan beralih rupa menjadi
komoditas—bersama profesi lain sekelasnya. Demi menyandang gelar dokter,
lewat jalur umum sekalipun, ongkosnya sungguh mahal bagi kelas menengah
bawah. Kini, lewat jalur khusus, orang bisa membayar, dengan besaran
fantastis, demi duduk di sekolah kedokteran. Keuntungan menjanjikan
membuat orangtua tak ragu berinvestasi.
***
Suzan Punya Cita-Cita menangkap
efek dari kecenderungan ini. Lewat sindiran jenaka, ia menggambarkan
penyempitan laku dokter, menjadi sekadar ‘menyuntik’, simbol kuasa
dokter memilih jenis tindakan terhadap pasien—jika merujuk larik
berikutnya mengenai siapa yang disuntik.
Siapa yang bisa disuntik tanpa perlawanan? Dengan main-main Suzan
bilang, “menyuntik orang lewat.” Jawaban ini, main-main hiperbolik khas
anak kecil, tidak sepenuhnya keliru. ‘Orang lewat’ bisa mewakili mereka
yang sulit memutuskan tindakan apa pun atas tubuh mereka. Mereka yang
bungkam karena tak punya ongkos untuk bicara atau meminta pendapat
lain—dengan segala risiko yang harus mereka hadapi. Buku Dedi Supratman
dan Eko Prasetyo, Bisnis Orang Sakit, merangkum dan mengenalisis cerita-cerita semacam ini.
Menutup bagian ini, ada dialog, bukan nyanyian, menegaskan posisinya sebagai pesan utama. Ria: “Lho kalau nggak sakit kenapa disuntik?” Suzan:“Biar obatnya laku.”
Larik ini menggambarkan bagaimana dokter dapat menjadi alat distribusi
efektif bagi perusahaan farmasi. Keberadan obat dan perusahaan farmasi,
yang sangat dibutuhkan, menjelma masalah jika bekerja demi laba dengan
mengorbankan pasien—terutama yang miskin.
Kita pun disesaki berderet berita mengenai cacat pelayanan kesehatan
publik. Mulai dari malpraktik karena memaksakan obat tertentu,
diskriminasi perlakuan terhadap pasien miskin, ketimpangan ketersediaan
dokter antar-daerah (Menteri Kesehatan sendiri, pada 2009, mengakui ini.
Padahal, setiap tahun lebih 6000 dokter baru tersedia, sementara jumlah
Puskesmas di Indonesia hanya berkisar 8000 unit.) Bahkan hingga
penelantaran pasien (sebuah penelitian menyebutkan, nyaris 40% dokter
ditemukan absen dari pos mereka tanpa alasan sah pada jam kerja resmi).
Bila dulu negara tak banyak membantu mereka menjadi dokter atau dokter
ahli—sehingga mereka bayar mahal untuk itu, mengapa mereka harus patuh
pada jam kerja resmi, atau mengabdi di puskesmas atau rumahsakit umum
sepanjang masa, atau mengecewakan sales obat yang meminta jasanya?
Jus, jus, njuus
***
Lewat guyon, Ria seolah menujum akan terjadinya, belasan tahun kemudian,
soal paling kontroversial dalam pelayanan kesehatan Indonesia: orang
sakit sebagai bisnis. Ia membungkus kritiknya lewat lagu anak-anak,
bahkan dengan meminjam mulut boneka.
Kiat ini sungguh cerdik, mengingat konteks sosial politiknya. Saat itu
represi pemerintah tengah menanjak. Gerakan yang kelak turut berperan
menjungkalkan pemerintahan Orde Baru tengah berkembang pesat. Seniman
pun tak luput dari tekanan. Rendra, Wiji Tukul, Emha Ainun Nadjib,
hingga Iwan Fals pernah merasakan pelarangan tampil, intimidasi,
penyiksaan, bahkan penghilangan.
Selain itu, menurut Saya Siraishi dalam buku Pahlawan-Pahlawan Belia,anak-anak
di masa itu tak lebih dari bocah badung yang perlu didisiplinkan.
Mereka dianggap belum pantas bicara, apalagi untuk didengarkan. Mungkin
ini menjelaskan mengapa Ria menyusun lagu ini sebagai tanya-jawab. Ia
bertanya, suzan menjawab. Sepertinya ia tahu, jawaban Suzan tak akan
disimak secara serius.
Karena itulah Ria bebas melagukan kritiknya setiap hari, di mana-mana,
bahkan hingga menyabet HDX Award sebagai album terlaris tahun itu. Bagi
banyak orang dewasa, Suzan hanya boneka yang berceloteh tentang
cita-cita masa kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar