Senin, 19 September 2016

Misteri di balik Boneka Susan

selasa,20 september,http://misteridibalikbonekasusan.blogspot.co.id/2016

Misteri di Balik Boneka

Boneka Kecil Bernyanyi tentang Cita-Cita

Boneka gadis kecil itu bisa bernyanyi. Namanya Suzan. Suaranya berasal dari Ria Enes, wanita yang juga menggerakkan tubuhnya. Dua dekade lalu anak-anak menikmati kelucuannya. Tetapi pesan di balik lagunya mungkin tak selugu yang dibayangkan banyak orang.
Suzan Punya Cita-Cita, salah satu lagu Suzan-Ria yang bergaya tanya-jawab, memuat potongan lirik ini: Suzan Suzan Suzan/Besok gede mau jadi apa?/Aku kepingin pinter/Biar jadi dokter//Kalau kalau benar/Jadi dokter kamu mau apa?/Mau suntik orang lewat/jus jus njuus.
Jawaban pertama Susan adalah klise tentang cita-cita model Orde Baru, menjadi pekerja kerah putih: dokter, insinyur, presiden. Tetapi yang beda dari lagu ini, Ria bertanya lagi mengapa Susan memilih cita-cita itu. Jawaban Suzan jenaka, lugu, namun mengejutkan. Ia bukan sedang membujuk khalayak agar percaya bahwa seluruh dokter hanya punya satu tujuan: menyembuhkan penyakit.
***
Dokter sejatinya pekerjaan mulia, sebagaimana profesi lain, bila dijalankan penuh dedikasi untuk kepentingan orang banyak. Apalagi, hingga beberapa tahun lalu, perbandingan jumlah dokter dan penduduk di Indonesia masih jomplang, 13 dokter untuk 100.000 penduduk. Jauh di bawah negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, apalagi Singapura. Demikian menurut naskah Strategi Nasional Departemen Kesehatan 2005-2009.
Namun, menurut beberapa analis, masalah segera tampak bila kita melongok penerapan kebijakan kesehatan nasional, yang lebih mengutamakan upaya pengobatan ketimbang kerja promosi dan pencegahan—biarkan orang menjadi sakit dulu lalu diobati. Ini meletakkan profesi dokter di pucuk penyelenggaraan kesehatan publik.
Masalah pun kian runyam ketika lembaga-lembaga negara berlaku seperti pasar, di mana posisi ‘basah’ diperoleh lebih banyak lewat jual beli—mengutip penelitian Howard Dick dan Jeremy Mulholland yang terangkum dalam buku The State and Illegality in Indonesia. Di belakangnya, ada anggaran kesehatan yang rendah. APBN 2008, hanya mengalokasikan 1,09% dari GDP untuk anggaran kesehatan, di bawah standar 5% dari GDP yang ditetapkan WHO.
Hasilnya: bersama naiknya posisi penting dokter, upah mereka kian menggiurkan—meski tak banyak berasal dari kas negara. Untuk menyetarakan gengsi dan gaji, para dokter mesti memakai kuasanya untuk mencari dari sumber pendapatan lain.
Wajar bila profesi ini pelan-pelan beralih rupa menjadi komoditas—bersama profesi lain sekelasnya. Demi menyandang gelar dokter, lewat jalur umum sekalipun, ongkosnya sungguh mahal bagi kelas menengah bawah. Kini, lewat jalur khusus, orang bisa membayar, dengan besaran fantastis, demi duduk di sekolah kedokteran. Keuntungan menjanjikan membuat orangtua tak ragu berinvestasi.
***
Suzan Punya Cita-Cita menangkap efek dari kecenderungan ini. Lewat sindiran jenaka, ia menggambarkan penyempitan laku dokter, menjadi sekadar ‘menyuntik’, simbol kuasa dokter memilih jenis tindakan terhadap pasien—jika merujuk larik berikutnya mengenai siapa yang disuntik.
Siapa yang bisa disuntik tanpa perlawanan? Dengan main-main Suzan bilang, “menyuntik orang lewat.” Jawaban ini, main-main hiperbolik khas anak kecil, tidak sepenuhnya keliru. ‘Orang lewat’ bisa mewakili mereka yang sulit memutuskan tindakan apa pun atas tubuh mereka. Mereka yang bungkam karena tak punya ongkos untuk bicara atau meminta pendapat lain—dengan segala risiko yang harus mereka hadapi. Buku Dedi Supratman dan Eko Prasetyo, Bisnis Orang Sakit, merangkum dan mengenalisis cerita-cerita semacam ini.
Menutup bagian ini, ada dialog, bukan nyanyian, menegaskan posisinya sebagai pesan utama. Ria: “Lho kalau nggak sakit kenapa disuntik?” Suzan:“Biar obatnya laku.”
Larik ini menggambarkan bagaimana dokter dapat menjadi alat distribusi efektif bagi perusahaan farmasi. Keberadan obat dan perusahaan farmasi, yang sangat dibutuhkan, menjelma masalah jika bekerja demi laba dengan mengorbankan pasien—terutama yang miskin.
Kita pun disesaki berderet berita mengenai cacat pelayanan kesehatan publik. Mulai dari malpraktik karena memaksakan obat tertentu, diskriminasi perlakuan terhadap pasien miskin, ketimpangan ketersediaan dokter antar-daerah (Menteri Kesehatan sendiri, pada 2009, mengakui ini. Padahal, setiap tahun lebih 6000 dokter baru tersedia, sementara jumlah Puskesmas di Indonesia hanya berkisar 8000 unit.) Bahkan hingga penelantaran pasien (sebuah penelitian menyebutkan, nyaris 40% dokter ditemukan absen dari pos mereka tanpa alasan sah pada jam kerja resmi).
Bila dulu negara tak banyak membantu mereka menjadi dokter atau dokter ahli—sehingga mereka bayar mahal untuk itu, mengapa mereka harus patuh pada jam kerja resmi, atau mengabdi di puskesmas atau rumahsakit umum sepanjang masa, atau mengecewakan sales obat yang meminta jasanya?
Jus, jus, njuus
***
Lewat guyon, Ria seolah menujum akan terjadinya, belasan tahun kemudian, soal paling kontroversial dalam pelayanan kesehatan Indonesia: orang sakit sebagai bisnis. Ia membungkus kritiknya lewat lagu anak-anak, bahkan dengan meminjam mulut boneka.
Kiat ini sungguh cerdik, mengingat konteks sosial politiknya. Saat itu represi pemerintah tengah menanjak. Gerakan yang kelak turut berperan menjungkalkan pemerintahan Orde Baru tengah berkembang pesat. Seniman pun tak luput dari tekanan. Rendra, Wiji Tukul, Emha Ainun Nadjib, hingga Iwan Fals pernah merasakan pelarangan tampil, intimidasi, penyiksaan, bahkan penghilangan.
Selain itu, menurut Saya Siraishi dalam buku Pahlawan-Pahlawan Belia,anak-anak di masa itu tak lebih dari bocah badung yang perlu didisiplinkan. Mereka dianggap belum pantas bicara, apalagi untuk didengarkan. Mungkin ini menjelaskan mengapa Ria menyusun lagu ini sebagai tanya-jawab. Ia bertanya, suzan menjawab. Sepertinya ia tahu, jawaban Suzan tak akan disimak secara serius.
Karena itulah Ria bebas melagukan kritiknya setiap hari, di mana-mana, bahkan hingga menyabet HDX Award sebagai album terlaris tahun itu. Bagi banyak orang dewasa, Suzan hanya boneka yang berceloteh tentang cita-cita masa kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar